Thursday, February 12, 2015

Sudah sekitar 5 bulan ini saya rutin berenang di pagi hari. Ngga usah banyak-banyak, cukup sekali seminggu. Kadang-kadang dua kali seminggu lah, kalau kebetulan bisa tidur cepat malam sebelumnya. Awalnya sih berniat supaya badan lebih bugar dan ngga gampang sakit, juga didorong oleh bentuk perut yang semakin mirip perut dugong. Tapi belakangan ini saya lihat, kalau berenang bisa lebih dari sekedar menggerakan badan di dalam air. 

Waktu pertama kali saya mulai berenang, gerakan saya masih grasak-grusuk. Belum luwes. Kalau boleh meminjam istilah Demetri Martin, seorang komedian one-liner favorit saya, berenang saya lebih kepada sebuah usaha untuk tidak tenggelam, ketimbang olahraga. Biar saja, namanya juga belum terbiasa. 

Tapi setelah rajin dan rutin berenang, saya mulai bisa menemukan keserasian antara anggota tubuh saya di dalam air. Lama kelamaan, kepala, kaki, tangan, badan menjadi seirama dan bergerak dalam sebuah harmoni. Badan pun menembus air tanpa suara, tidak lagi grasak-grusuk. Saya jadi mengerti, kenapa berenang itu bisa untuk siapa saja, mau kurus atau gendut. Karena dugong juga gendut, tapi toh pandai berenang. 

Kalau sudah luwes dan harmonis, berenang tidak lagi berfokus pada gerakan anggota tubuh. Semuanya jadi serba otomatis. Pikiran pun bisa fokus memikirkan hal yang lain. Mulai dari memikirkan rencana hidup, karir, sekolah, atau menyelesaikan masalah-masalah intelektual. Apa saja. Ini makanya saya bilang, berenang bisa jadi lebih bermakna. Semacam bentuk meditasi gerakan yang bisa menenangkan pikiran, dan jauh dari stress. 

Tidak ada yang suka menjadi stress. Karena kalau lagi stress, tubuh kita mengeluarkan Cortisol atau dikenal sebagai the chemical of stress. Ini bukan kata saya loh, karena saya bukan ahli Biologi. Ini kata Simon Sinek, seorang leadership expert tersohor (coba cek deh di youtube deh, bagus!). Simon juga bukan ahli Biologi sih, tapi lebih terlihat kredibel ketimbang saya. Mungkin karena dia pakai kacamata. 

Di bukunya, Simon bilang begini:

"Cortisol keeps us alive when we’re in danger, through injecting glucose into our hearts; making them race. Cortisol heightens our senses and making us feel stressed and tense, inhibiting our production of Oxytocin. Too much cortisol in the body creates stress, destroys empathy, and breaks down the immune system and turns off growth and immune systems."

Kalau ada yang bingung, Oxytocin itu senyawa kimia yang datang dari rasa love dan trust. Ini makanya, orang yang lagi jatuh cinta senangnya berpelukan atau pegangan tangan. Selain itu ada juga Endorphin, Dopamine, dan Serotonin. Semuanya baik untuk kelangsungan hidup manusia dan, ah, ngga usah dilanjutin deh ya sebelum jadi melantur. Intinya, Cortisol bisa bikin orang sakit dan berumur pendek. Jadi orang stress itu ngga enak, apalagi kalau stress terus-terusan. 

Lagipula katanya, Cortisol itu menular. Stress dan panik menular kepada sesama. Ini kenapa ketika seekor antelope panik dan kabur tunggang langgang karena melihat singa, akan diikuti dengan kepanikan antelope lain padahal antolope kan ngga bisa ngomong. Sama halnya seseorang datang ke kantor stress, akan membuat koleganya stress juga. Jadi orang stress itu ngga enak, buat diri sendiri dan juga buat temannya. 

Untuk saya, berenang adalah cara ampuh untuk menghilangkan stress, asal dilakukan tidak dengan grasak-grusuk. Meskipun seluruh badan melakukan kegiatan fisik secara maksimal, tapi pikiran dapat melayang dan tidak terkekang. Tidak ada peralatan canggih, percakapan, musik atau aplikasi smartphone. Yang ada hanya badan terapung yang bergerak tanpa suara. Buat saya ini sebuah bentuk meditasi dalam gerakan. 

Kalau lagi iseng main ke Jakarta Selatan, boleh loh mampir ke Life Spa Arkadia. Hari Senin dan Kamis, sekitar jam setengah enam pagi. Di saat itulah saya sedang berada fokus dalam meditasi gerakan. Berenang dilakukan sambil menghitung jumlah lap, menyanyi dalam hati, membuat to-do-list, dan menentukan menu sarapan hari ini. Jauh dari hingar bingar perkotaan. Jauh dari stress. Dan jauh dari perut dugong. 

Saturday, December 6, 2014

Kebosanan saya di suatu Jumat pagi memaksa saya untuk menonton film berjudul Alfie. Ada yang pernah dengar? Film ini berkisah tentang seorang pria womanizer bernama Alfie Elkins, diperankan dengan apik oleh Jude Law. Tapi saya tidak akan bahas mengenai film Alfie disini. Saya juga ngga mau ngotot kasih komentar kalau versi originalnya, diperankan oleh Michael Caine di tahun 1966, itu jauh lebih menarik. Karena jujur saja, saya bukan kritikus film. Apalagi womanizer.


 

Namun ada satu quote menarik bagi saya dari film ini. Jude Law sekali waktu berkata dengan logat Inggris yang kental: Moral of the story, is that no good deed goes unpunished. Seketika itu juga langsung nempel di kepala saya. Bukan karena Jude Law, bukan juga karena logat Inggrisnya. Tapi karena permainan kata-katanya yang menurut saya cukup menghibur. 

Saya membuang cukup lama waktu untuk mencari tahu darimana quote ini berasal. Namun sia-sia, karena ternyata tidak ada yang tahu. Ada yang bilang ini pertama kali diungkapkan oleh penulis tersohor Irlandia, Oscar Wilde. Ada yang bilang ini dari Walter Winchell, tokoh radio Amerika. Ada yang bilang dari Clare Luce, politisi Amerika. Tapi tetap, tidak ada yang tahu dengan pasti asal quote ini. Stephen Levitt, pengarang buku laris manis Freakonomics, malah menulis blog khusus untuk mencari tahu darimana quote ini berasal. Hasilnya, nihil. 

Tapi terlepas dari asal istilah ini, rasanya kita semua bisa setuju ya, kalau "no good deed goes unpunished" tidak lain merupakan sebuah ungkapan ironis dengan sedikit sentuhan humor. Betapa tidak, kan kita selalu diajarkan oleh pak ustad kalau perbuatan baik (good deed) itu berujung kebaikan. Atau, perbuatan buruk (bad deed) akan mendapat hukuman (punishment) setimpal. Itu juga kalau berbuat baik/buruk mau pakai itung-itungan kaya matematika. Tidak pernah ada ceritanya, perbuatan baik berujung pada hukuman. Setidaknya, tidak kata pak ustad. 

Tapi ternyata memang istilah itu ada logikanya loh. Kalau saya boleh ambil pernyataan yang saya temukan di internet, no good deed goes unpunished kira-kira bisa diartikan begini: 

Sometimes good intentions bring unjust punishment. Atau ini, often there is unintended consequence of doing something nice for someone

Pernah terpikir ngga sih kalau berbuat baik bisa kadang berefek buruk? Seorang teman baik pernah berkeluh, katanya dia sering memberi bantuan kepada temannya. Tapi yang dibantu malah sekedar memanfaatkan situasi dan terus meminta, tanpa membalas kebaikan. Ujungnya hanya jadi kekecewaan bagi yang membantu. Good deed, tapi berakhir menjadi punishment. Hal ini pernah dibahas tuntas oleh Benjamin Franklin, salah satu founding fathers negeri Paman Sam. Sampai sekarang, ini masih dikenal sebagai fenomena psikologi, yang kemudian diberi istilah The Benjamin Franklin Effect. Kalau tidak percaya, silakan google sendiri - karena kalau saya tulis disini pasti akan jadi panjang lebar. 

Intinya, berbuat baik tidak selalu menghasilkan kebaikan untuk kita. Itu makanya timbul istilah tadi, seperti yang dikutip Jude Law dalam film Alfie. Ini karena seringkali, perbuatan baik terikat dengan ekspektasi. Harapan. Timbal balik. Keseimbangan. 

Tapi apa iya, semuanya harus ditimbang dalam itung-itungan matematika, seperti kata pak ustad? 

Ada yang pernah bilang ke saya, kalau doing good things is never been an option, it's a way of life, atau kurang lebih seperti itu lah. Masuk akal. Ini kenapa, saya lebih percaya dengan prinsip karma sederhana, what comes around goes around. 

Kalau teman saya berkeluh lagi tentang pengalamannya, akan saya tanya balik: Are you expecting something in return? Karena kalau jawabannya iya, mungkin yang dilakukannya ngga bisa masuk ke dalam kategori good deed. Faktor ikhlas kadang terlupakan, menjadi semu oleh ekspetasi, harapan, dan timbal balik. 

Saya tidak ingin judul posting ini membuat saya menjadi less good of a person. Karena berbuat baik itu menurut saya penting. It matters. It matters every time, every person. And if I suffer from the consequences, I'll survive. Because I tend to see it not as a punishment from good deed, but just a temporary thing.  

What goes around comes around. Fokusnya bukan seharusnya pada konsekuensi, bukan pada timbal balik. Fokus harusnya terletak pada niat baik itu sendiri. Good things happen to good people

Hanya dengan begitu, istilah no good deed ever goes unpunished hanya akan sekedar menjadi permainan kata belaka, yang seringkali disisipkan di sana-sini. Tidak terkecuali di dalam film yang saya nikmati di suatu Jumat pagi. Setuju?

Friday, December 14, 2007

Thursday, December 13, 2007

Namanya Nadya Anindita Supelli. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Adik kecil saya. Umur 18 tahun. Tinggal di Bandung. Dan kami terpisah ribuan kilometer (11,525 km lebih tepatnya). Orang bilang dia ini termasuk kategori orang lemot. Maksudnya, agak lambat dalam memproses informasi. Di kala semua orang sedang asyik bercerita, Nadya terkadang masuk ke tengah percakapan dengan pertanyaan sederhana. 'Maksudnya?' atau 'Kok gitu ya?'. Pertanyaan yang sederhana, tapi lumayan bikin garuk-garuk kepala. Terutama bagi si pencerita. Itulah mengapa, saya berusaha menahan diri untuk menceritakan lelucon kepadanya. Kata orang jaman sekarang, takut ngga nyambung. Bahkan, saking stressnya, adik sepupu saya pernah sekali berkomentar. 'Nas, otak lu itu Pentium berapa sih?'. Khas guyonan anak muda. Dan kalau perlu ditambahkan, saya rasa otaknya setara dengan microprocessor Intel pada awal kesuksesannya. Si Pentium seri 486.

Gelagat lemot Nadya Supelli selalu mengundang tawa bagi saya. Dalam obrolan, selalu ada saja hal yang bisa ditertawakan. Tidak terkecuali dalam 'obrolan jarak jauh'. Sekarang lebih dikenal dengan online chatting atau instant messaging. Hari ini, saya berkesempatan untuk kembali chatting dengan adik saya. Cukup membuat saya tertawa geli. Meski terkadang malah gigit jari.

Saya putuskan untuk membuat posting berdasarkan hasil percakapan ini. Berikut sepenggal kutipan dari perbincangan kita. Beberapa kata sengaja ditambahkan atau dihilangkan demi kejelasan akademisi.

nadyasupelli : tau ga, kak? waktu itu aku ditanya sama dosen gini
kemalsupelli : gimana?
nadyasupelli : "menurut saudara, apakah saudara setuju dengan demokrasi sebagai cara untuk mencapai tujuan politik nasional dan juga sebagai cara untuk menyikapi lunturnya nasionalisme terhadap globalisasi?"
kemalsupelli : anjrit.. mampus.. terus lu jawab apa?
nadyasupelli : aku jawabnya gini
nadyasupelli : "kalo saya sih, ngga pake cara demokrasi juga ngga apa2, yang penting tujuan nasional tercapai.. terus untuk menyikapi globalisasi, saya rasa engga ada hubungannya sama demokrasi"

Nah lo, hebat amat adik saya berbicara. Demokrasi tidak penting. Yang penting tujuan nasional tercapai. Persis omongan Jusuf Kalla, si wakil presiden kita. Dia juga pernah berkomentar hal yang kurang lebih sama. Katanya, demokrasi bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. Ada-ada saja. Lengkapnya bisa dibaca disini.

Didorong oleh rasa penasaran, saya pun angkat bicara.
kemalsupelli : wahahaha.. parah lu, udah kaya jusuf kalla aja.. terus? dosennya bilang apa?
nadyasupelli : katanya, "jadi kamu setuju tidak dengan demokrasi?"

Mungkin si dosen merasa pertanyaan belum terjawab. Saya rasa juga belum, karena jawabannya tidak mengandung unsur setuju atau tidak setuju.

nadyasupelli : aku jawab, "netral"

Disinilah saya memberi komentar dengan ikon terkenal, yang sudah mahfum diterima oleh masyarakat dunia maya.

kemalsupelli : -_-
kemalsupelli : terus?
nadyasupelli : si dosen tetep nanya, "setuju apa tidak?"
nadyasupelli : aku jawab, "setuju2 aja sih.. tapi demo seringkali membuat masalah, jadi saya pikir demokrasi lebih berhubungan dengan kemacetan daripada globalisasi".

Perasaan saya langsung campur aduk seketika. Setelah diberikan pernyataan selevel dengan pernyataan wakil presiden, saya harus berhadapan dengan kenyataan mengejutkan. Bahwa demokratisasi menyebabkan kemacetan. Wah, ini luar biasa. Namun dalam hitungan detik, saya berhasil membawa persoalan ini ke tingkat logika yang bisa lebih diterima. Saya muncul dengan satu kata.

Demonstrasi.

Karena buat saya, lebih logis kalau demontrasilah yang membuat macet jalanan.

kemalsupelli : wahahahahahahahahahahha
kemalsupelli : kenapa jadi demonstrasi?
nadyasupelli : engga tau, aku pikir sama.. karena sama-sama DEMO
nadyasupelli : jadi demokrasi itu ya demonstrasi
nadyasupelli : pasti ada hubungannya lah
kemalsupelli : ngga ada!

Ya memang sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, ada sih hubungan antara demokrasi dan demonstrasi. Meskipun saya tidak medalami ilmu politik, tapi saya bisa lihat benang merahnya adalah 'kebebasan mengemukakan pendapat'. Tapi sejujurnya sih, saya kasihan sama si dosen. Karena memang jawabannya jadi tidak relevan. Yang ditanya hubungannya dengan globalisasi, lantas mengapa jadi kemacetan lalu lintas?

nadyasupelli : ada hubungannya!
kemalsupelli : ya iya! tapi bukan itu yang ditanya!
nadyasupelli : ADA HUBUNGANNYA!

Inilah sifat adik kecil saya yang kedua. Selain agak lemot, dia juga ngga mau kalah. Yah, setidaknya tidak kalah tanpa perjuangan terlebih dahulu. Sedangkan, lemot dan ngotot terkadang bukanlah kombinasi yang pas.

nadyasupelli : demonstrasi kan ya demo dong, ka
nadyasupelli : demokrasi = atas dasar kepentingan rakyat
nadyasupelli : rakyat bebas menyalurkan aspirasi
nadyasupelli : ya menyalurkan aspirasi = demonstrasi
nadyasupelli : jadi demokrasi = bikin macet

Maha dahsyat. Ini lebih canggih dari dosen Termodinamika saya ketika sedang menurunkan rumus untuk mendapat persamaan baru. Saya hanya bisa geleng-geleng, dan memutuskan untuk kembali menggunakan ikon yang maha terkenal itu.

kemalsupelli : -_-

Dan saya pun berkomentar

kemalsupelli : elu mah otaknya cuman memproses sebagian dari seluruh kata..
kemalsupelli : DEMOkrasi itu tidak sama dengan DEMOnstrasi
nadyasupelli : iya aku tau, tapi berhubungan!

Bagaimanapun, saya memutuskan untuk tidak berdebat lebih panjang lagi. Saya memilih untuk menarik nafas dan menanyakan kejadian pasca tragedi saja.

kemalsupelli : terus? dosennya gimana?
nadyasupelli : ya, semua anak di kelas pada ngeliatin aku

Untuk anak-anak kelas, saya rasa ini adalah respon yang wajar. Kalau saya juga berada di sana, saya pasti penasaran untuk melihat mahasiswa yang dengan suksesnya memojokkan dosen dengan memutarbalikan pertanyaan politik menjadi masalah lalu lintas.

nadyasupelli : terus dosennya cape kayanya, langsung ganti orang
kemalsupelli : wahahahahahahaha...

Sesuai dugaan, yang jadi korban itu adalah si dosen. Memang tidak mudah menjadi seorang dosen. Tabah ya, pak.

Dan akhirnya percakapan ditutup dengan:

nadyasupelli : sok, pasti mau ditulis di testimonial ya
kemalsupelli : engga... ini sih wajib masuk blog
nadyasupelli : KAKAK!
kemalsupelli : ga usah protes

Itulah. Saya senang sekali jail ke adik saya yang satu ini. Karena memang begitu kelakuannya, selalu mengundang tawa atau bikin saya geleng-geleng kepala. Mungkin juga ini naluri seorang kakak, berkewajiban untuk membuat hidup para adiknya sengsara. Tapi apapun itu, adik saya tidak pernah marah. Karena mungkin dia tahu, kalau saya hanya sekedar bercanda. Atau mungkin karena dia juga tahu, kalau sebenarnya saya sangat sayang sama dia. Tidak peduli siapa, atau apapun kelakuannya. Tidak peduli. Meski terkadang, otaknya sering disetarakan dengan Pentium 486.

Sunday, December 9, 2007

Saturday, December 8, 2007

Orang bilang jenis laba-laba ini bernama Daddy Longlegs. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang bila dibandingkan dengan tubuhnya yang mungil. Menurut Wikipedia, habitat hewan ini tersebar hampir di seluruh dunia. Artinya, hewan ini bisa ditemukan dimana-mana. Termasuk di rumah Anda. Santapannya serangga kecil. Dan kalau diganggu, dia akan menggetarkan sarangnya. Menurut para ahli, ini bertujuan untuk membingungkan pemangsa. Dan konon katanya, laba-laba ini sangat beracun. Namun mitos ini sudah dibuktikan tidak benar oleh seorang pria berkumis tebal. Bisa dilihat di salah satu episode Mythbusters.

Saya sudah tinggal di tiga rumah yang berbeda selama 3 tahun ini, satu di Indonesia dan dua di Jerman. Lucunya, persis seperti apa yang
Wikipedia katakan, si Daddy Longlegs selalu ada. Tepatnya di kamar mandi. Kamar mandi selalu menjadi tempat dimana saya melamun dan berpikir. Mencari inspirasi, kalau ingin pakai istilah yang lebih beken. Dan Daddy Longlegs ini selalu terlihat di pojok ruangan, seolah menemani lamunan saya; tidak peduli di negara mana saya berada. Bentuknya lucu, terlihat rapuh sekali. Nampak kikuk dengan kakinya yang panjang. Sering juga saya ganggu. Kalau begitu, spontan dia menggetarkan sarangnya. Untuk membuat saya bingung, begitu kata para ahli. Saya sih biasanya malah tersenyum, kapan lagi duduk di toilet dan dihibur dengan tarian laba-laba. Senang sekali melihat mereka. Makanya, waktu di Bandung, laba-laba ini suka saya beri nama.

Pagi ini, saya menemukan kembali si
Daddy Longlegs di pojok kamar mandi apartemen saya yang baru. Kali ini tidak saya beri nama, karena tidak gampang mencari nama Jerman untuk seekor laba-laba. Tapi si Daddy Longlegs ini sama, kembali menemani lamunan saya di kamar mandi. Terdiam di pojok ruangan, sambil sesekali bergerak merajut sarangnya. Sama lucunya dengan yang saya temukan di Indonesia. Masih rapuh. Masih kikuk dengan kakinya yang panjang. Dan masih menari jika diganggu.

Saya menikmati sekali kehadiran teman kecil ini, sehingga saya selalu berhati-hati untuk tidak menginjaknya atau menjerumuskannya ke lubang toilet dengan menekan tombol flush. Buat saya, hewan kecil seperti Daddy Longlegs punya arti sendiri. Menghibur. Karena dia seolah ingin memberi tahu. Bahwa hal sekecil apapun bisa memberi dampak yang berarti. Benar-benar pembentuk mood. Setidaknya untuk hari ini. Setidaknya untuk saya.

Tapi saya yakin, bahwa kamar mandi memang tempat untuk membangkitkan mood. Tempat untuk membuka pikiran. Karena memang benar apa yang dikatakan oleh
Alicia Keys. Katanya, "If I want to be alone, some place I can write, I can read, I can cry, I can do whatever I want - I go to the bathroom". Apa saja, loh ya. Whatever I want, gitu katanya. Siapa tau, mungkin juga bagi Alicia Keys, kamar mandi adalah tempat untuk bermain bersama laba-laba. Si makhluk mungil berkaki panjang. Pembentuk mood di pagi hari. Si Daddy Longlegs.

Sunday, December 2, 2007

Saya rasa kita semua pernah mengalami ini. Apa yang salah ya?