Thursday, September 27, 2007

Kalau dulu saya pergi ke foodcourt BSM di Bandung, kemungkinan counter yang saya datangi akan selalu sama : Doner Kebab atau Mi Hotplet. Begitu juga sesampainya di Doner Kebab, pilihan saya pasti tertuju ke paket kebab kambing, plus kentang goreng. Sama saja dengan Mi Hotplet, saya pasti pesan mie hotplate dengan black pepper beef. Kalaupun terpaksa harus jajan untuk ganjel perut, kemungkinan pilihannya (diurutkan berdasarkan prioritas) : baso malang, pempek, atau batagor. Buka website, dari sekian puluh juta website yang ditawarkan, paling browsing yang dilakukan hanya sekitar friendster, e-mail, atau youtube, mungkin sekali-sekali buka fotografer.net. Konversasi di telfon hanya terbatas pada orang-orang itu saja, kalau tidak pacar ya keluarga.

Manusia memang creature of habit alias ‘makhluk kebiasaan’, sangat jarang keluar dari kebiasaan. Makanya kita sering mendengar istilah the force of habit, karena memang kebiasaan merupakan hal yang powerful. Lihat saja, Doner Kebab di BSM punya banyak sekali menu menarik, mulai dari ayam goreng, salad sampai berbagai macam daging dan belasan variasi topping. Jarang saya makan. Jajanan di pinggir jalan juga banyak sekali, mulai dari baso tahu, martabak, soto, sampai hotdog yang konon rasanya lebih nikmat dari hotdog yang dijual di New York. Tapi toh juga jarang saya beli. Koneksi internet menawarkan jumlah website yang tidak terhingga, semuanya ada. Juga jarang saya lihat. Di handphone saya banyak sekali alamat dan nomer telfon, hingga mencapai ratusan. Itu juga sebagian besar tidak pernah saya telfon.

Terbukti, banyaknya pilihan tidak lantas membuat kita jadi banyak memilih. Lagi-lagi ini karena kekuatan dari kebiasaan, kita cenderung untuk memilih apa yang sudah pas dengan kita. Karena sudah biasa, karena tidak ingin mengambil resiko. Saya tidak menghimbau Anda untuk mengambil resiko, apalagi meminta untuk memilih pilihan alternatif dibandingkan dengan pilihan yang konvensional. Yang jelas, apa pun pilihannya, pilihan harus dilakukan. Karena mau tidak mau, di satu titik dalam hidup, memilih tidak terhindarkan. Sulit memang, tapi wajib. Wajib, karena memilih sudah harus menjadi bagian dari hidup. Our lives are a sum total of the choices we have made. Gitu..

Teringat dengan quote dari film Bruce Almighty, ‘free choice is always be ours’.. Tapi apa benar ‘bebas memilih’ membuat kita memilih sesuai dengan yang kita inginkan? Rasanya tidak, bebas memilih bukan berarti kita memilih dengan bebas. Resiko berperan kembali. Teman baik saya pusing tujuh keliling memilih kamera apa yang dia inginkan, dengan segala merk dan jenis yang ada di pasaran. Akhirnya, Google bekerja, forum di berbagai website menawarkan guidancesimple, karena tidak mau ambil resiko.

Tapi tidak selamanya memilih itu memerlukan referensi, terkadang pilihan harus didasarkan pada refleksi diri. Esensinya adalah mencoba memahami diri kita sendiri, apa yang kita inginkan; meski terkadang memang tidak gampang. Kalaupun saya pada akhirnya memilih untuk menyantap kebab isi daging ayam, dan ternyata rasanya tidak enak, tidak masalah. Toh saya sudah memilih, dan yang terpenting, saya belajar. Seperti dari quote yang saya temukan : I chose and my world was shaken. So what? The choice may have been mistaken, but the choosing was not.. Just keep moving, and learn your life. Setuju?

Tuesday, September 18, 2007

Setelah satu tahun saya tinggal di Hamburg, keputusan membuat blog akhirnya dijalankan juga. Awalnya penuh keraguan dan berprinsip tidak mau ikut-ikutan. Tapi entah mengapa, rasanya banyak sekali hal terpendam yang harus dikeluarkan. Kata orang, kalau terlalu lama disimpen nanti bisa jadi penyakit. Yah, tidak ada suka yang jatuh sakit kecuali kalau bermotivasi ingin bertemu suster cantik di rumah sakit. Jadi inilah, saya mulai juga ikutan ngeblog. Untuk mencurahkan isi pikiran, untuk menuangkan apa yang ada di hati. Daripada jadi penyakit. Ya toh..?