Friday, December 14, 2007

Thursday, December 13, 2007

Namanya Nadya Anindita Supelli. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Adik kecil saya. Umur 18 tahun. Tinggal di Bandung. Dan kami terpisah ribuan kilometer (11,525 km lebih tepatnya). Orang bilang dia ini termasuk kategori orang lemot. Maksudnya, agak lambat dalam memproses informasi. Di kala semua orang sedang asyik bercerita, Nadya terkadang masuk ke tengah percakapan dengan pertanyaan sederhana. 'Maksudnya?' atau 'Kok gitu ya?'. Pertanyaan yang sederhana, tapi lumayan bikin garuk-garuk kepala. Terutama bagi si pencerita. Itulah mengapa, saya berusaha menahan diri untuk menceritakan lelucon kepadanya. Kata orang jaman sekarang, takut ngga nyambung. Bahkan, saking stressnya, adik sepupu saya pernah sekali berkomentar. 'Nas, otak lu itu Pentium berapa sih?'. Khas guyonan anak muda. Dan kalau perlu ditambahkan, saya rasa otaknya setara dengan microprocessor Intel pada awal kesuksesannya. Si Pentium seri 486.

Gelagat lemot Nadya Supelli selalu mengundang tawa bagi saya. Dalam obrolan, selalu ada saja hal yang bisa ditertawakan. Tidak terkecuali dalam 'obrolan jarak jauh'. Sekarang lebih dikenal dengan online chatting atau instant messaging. Hari ini, saya berkesempatan untuk kembali chatting dengan adik saya. Cukup membuat saya tertawa geli. Meski terkadang malah gigit jari.

Saya putuskan untuk membuat posting berdasarkan hasil percakapan ini. Berikut sepenggal kutipan dari perbincangan kita. Beberapa kata sengaja ditambahkan atau dihilangkan demi kejelasan akademisi.

nadyasupelli : tau ga, kak? waktu itu aku ditanya sama dosen gini
kemalsupelli : gimana?
nadyasupelli : "menurut saudara, apakah saudara setuju dengan demokrasi sebagai cara untuk mencapai tujuan politik nasional dan juga sebagai cara untuk menyikapi lunturnya nasionalisme terhadap globalisasi?"
kemalsupelli : anjrit.. mampus.. terus lu jawab apa?
nadyasupelli : aku jawabnya gini
nadyasupelli : "kalo saya sih, ngga pake cara demokrasi juga ngga apa2, yang penting tujuan nasional tercapai.. terus untuk menyikapi globalisasi, saya rasa engga ada hubungannya sama demokrasi"

Nah lo, hebat amat adik saya berbicara. Demokrasi tidak penting. Yang penting tujuan nasional tercapai. Persis omongan Jusuf Kalla, si wakil presiden kita. Dia juga pernah berkomentar hal yang kurang lebih sama. Katanya, demokrasi bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. Ada-ada saja. Lengkapnya bisa dibaca disini.

Didorong oleh rasa penasaran, saya pun angkat bicara.
kemalsupelli : wahahaha.. parah lu, udah kaya jusuf kalla aja.. terus? dosennya bilang apa?
nadyasupelli : katanya, "jadi kamu setuju tidak dengan demokrasi?"

Mungkin si dosen merasa pertanyaan belum terjawab. Saya rasa juga belum, karena jawabannya tidak mengandung unsur setuju atau tidak setuju.

nadyasupelli : aku jawab, "netral"

Disinilah saya memberi komentar dengan ikon terkenal, yang sudah mahfum diterima oleh masyarakat dunia maya.

kemalsupelli : -_-
kemalsupelli : terus?
nadyasupelli : si dosen tetep nanya, "setuju apa tidak?"
nadyasupelli : aku jawab, "setuju2 aja sih.. tapi demo seringkali membuat masalah, jadi saya pikir demokrasi lebih berhubungan dengan kemacetan daripada globalisasi".

Perasaan saya langsung campur aduk seketika. Setelah diberikan pernyataan selevel dengan pernyataan wakil presiden, saya harus berhadapan dengan kenyataan mengejutkan. Bahwa demokratisasi menyebabkan kemacetan. Wah, ini luar biasa. Namun dalam hitungan detik, saya berhasil membawa persoalan ini ke tingkat logika yang bisa lebih diterima. Saya muncul dengan satu kata.

Demonstrasi.

Karena buat saya, lebih logis kalau demontrasilah yang membuat macet jalanan.

kemalsupelli : wahahahahahahahahahahha
kemalsupelli : kenapa jadi demonstrasi?
nadyasupelli : engga tau, aku pikir sama.. karena sama-sama DEMO
nadyasupelli : jadi demokrasi itu ya demonstrasi
nadyasupelli : pasti ada hubungannya lah
kemalsupelli : ngga ada!

Ya memang sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, ada sih hubungan antara demokrasi dan demonstrasi. Meskipun saya tidak medalami ilmu politik, tapi saya bisa lihat benang merahnya adalah 'kebebasan mengemukakan pendapat'. Tapi sejujurnya sih, saya kasihan sama si dosen. Karena memang jawabannya jadi tidak relevan. Yang ditanya hubungannya dengan globalisasi, lantas mengapa jadi kemacetan lalu lintas?

nadyasupelli : ada hubungannya!
kemalsupelli : ya iya! tapi bukan itu yang ditanya!
nadyasupelli : ADA HUBUNGANNYA!

Inilah sifat adik kecil saya yang kedua. Selain agak lemot, dia juga ngga mau kalah. Yah, setidaknya tidak kalah tanpa perjuangan terlebih dahulu. Sedangkan, lemot dan ngotot terkadang bukanlah kombinasi yang pas.

nadyasupelli : demonstrasi kan ya demo dong, ka
nadyasupelli : demokrasi = atas dasar kepentingan rakyat
nadyasupelli : rakyat bebas menyalurkan aspirasi
nadyasupelli : ya menyalurkan aspirasi = demonstrasi
nadyasupelli : jadi demokrasi = bikin macet

Maha dahsyat. Ini lebih canggih dari dosen Termodinamika saya ketika sedang menurunkan rumus untuk mendapat persamaan baru. Saya hanya bisa geleng-geleng, dan memutuskan untuk kembali menggunakan ikon yang maha terkenal itu.

kemalsupelli : -_-

Dan saya pun berkomentar

kemalsupelli : elu mah otaknya cuman memproses sebagian dari seluruh kata..
kemalsupelli : DEMOkrasi itu tidak sama dengan DEMOnstrasi
nadyasupelli : iya aku tau, tapi berhubungan!

Bagaimanapun, saya memutuskan untuk tidak berdebat lebih panjang lagi. Saya memilih untuk menarik nafas dan menanyakan kejadian pasca tragedi saja.

kemalsupelli : terus? dosennya gimana?
nadyasupelli : ya, semua anak di kelas pada ngeliatin aku

Untuk anak-anak kelas, saya rasa ini adalah respon yang wajar. Kalau saya juga berada di sana, saya pasti penasaran untuk melihat mahasiswa yang dengan suksesnya memojokkan dosen dengan memutarbalikan pertanyaan politik menjadi masalah lalu lintas.

nadyasupelli : terus dosennya cape kayanya, langsung ganti orang
kemalsupelli : wahahahahahahaha...

Sesuai dugaan, yang jadi korban itu adalah si dosen. Memang tidak mudah menjadi seorang dosen. Tabah ya, pak.

Dan akhirnya percakapan ditutup dengan:

nadyasupelli : sok, pasti mau ditulis di testimonial ya
kemalsupelli : engga... ini sih wajib masuk blog
nadyasupelli : KAKAK!
kemalsupelli : ga usah protes

Itulah. Saya senang sekali jail ke adik saya yang satu ini. Karena memang begitu kelakuannya, selalu mengundang tawa atau bikin saya geleng-geleng kepala. Mungkin juga ini naluri seorang kakak, berkewajiban untuk membuat hidup para adiknya sengsara. Tapi apapun itu, adik saya tidak pernah marah. Karena mungkin dia tahu, kalau saya hanya sekedar bercanda. Atau mungkin karena dia juga tahu, kalau sebenarnya saya sangat sayang sama dia. Tidak peduli siapa, atau apapun kelakuannya. Tidak peduli. Meski terkadang, otaknya sering disetarakan dengan Pentium 486.

Sunday, December 9, 2007

Saturday, December 8, 2007

Orang bilang jenis laba-laba ini bernama Daddy Longlegs. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang bila dibandingkan dengan tubuhnya yang mungil. Menurut Wikipedia, habitat hewan ini tersebar hampir di seluruh dunia. Artinya, hewan ini bisa ditemukan dimana-mana. Termasuk di rumah Anda. Santapannya serangga kecil. Dan kalau diganggu, dia akan menggetarkan sarangnya. Menurut para ahli, ini bertujuan untuk membingungkan pemangsa. Dan konon katanya, laba-laba ini sangat beracun. Namun mitos ini sudah dibuktikan tidak benar oleh seorang pria berkumis tebal. Bisa dilihat di salah satu episode Mythbusters.

Saya sudah tinggal di tiga rumah yang berbeda selama 3 tahun ini, satu di Indonesia dan dua di Jerman. Lucunya, persis seperti apa yang
Wikipedia katakan, si Daddy Longlegs selalu ada. Tepatnya di kamar mandi. Kamar mandi selalu menjadi tempat dimana saya melamun dan berpikir. Mencari inspirasi, kalau ingin pakai istilah yang lebih beken. Dan Daddy Longlegs ini selalu terlihat di pojok ruangan, seolah menemani lamunan saya; tidak peduli di negara mana saya berada. Bentuknya lucu, terlihat rapuh sekali. Nampak kikuk dengan kakinya yang panjang. Sering juga saya ganggu. Kalau begitu, spontan dia menggetarkan sarangnya. Untuk membuat saya bingung, begitu kata para ahli. Saya sih biasanya malah tersenyum, kapan lagi duduk di toilet dan dihibur dengan tarian laba-laba. Senang sekali melihat mereka. Makanya, waktu di Bandung, laba-laba ini suka saya beri nama.

Pagi ini, saya menemukan kembali si
Daddy Longlegs di pojok kamar mandi apartemen saya yang baru. Kali ini tidak saya beri nama, karena tidak gampang mencari nama Jerman untuk seekor laba-laba. Tapi si Daddy Longlegs ini sama, kembali menemani lamunan saya di kamar mandi. Terdiam di pojok ruangan, sambil sesekali bergerak merajut sarangnya. Sama lucunya dengan yang saya temukan di Indonesia. Masih rapuh. Masih kikuk dengan kakinya yang panjang. Dan masih menari jika diganggu.

Saya menikmati sekali kehadiran teman kecil ini, sehingga saya selalu berhati-hati untuk tidak menginjaknya atau menjerumuskannya ke lubang toilet dengan menekan tombol flush. Buat saya, hewan kecil seperti Daddy Longlegs punya arti sendiri. Menghibur. Karena dia seolah ingin memberi tahu. Bahwa hal sekecil apapun bisa memberi dampak yang berarti. Benar-benar pembentuk mood. Setidaknya untuk hari ini. Setidaknya untuk saya.

Tapi saya yakin, bahwa kamar mandi memang tempat untuk membangkitkan mood. Tempat untuk membuka pikiran. Karena memang benar apa yang dikatakan oleh
Alicia Keys. Katanya, "If I want to be alone, some place I can write, I can read, I can cry, I can do whatever I want - I go to the bathroom". Apa saja, loh ya. Whatever I want, gitu katanya. Siapa tau, mungkin juga bagi Alicia Keys, kamar mandi adalah tempat untuk bermain bersama laba-laba. Si makhluk mungil berkaki panjang. Pembentuk mood di pagi hari. Si Daddy Longlegs.

Sunday, December 2, 2007

Saya rasa kita semua pernah mengalami ini. Apa yang salah ya?

Saturday, December 1, 2007

Pernah perhatikan bedanya loneliness dan solitude? Dua hal yang sangat berbeda tipis. Ibarat membedakan peach dan nectarine. Untuk kedua buah itu bisa dilihat di website ini, karena tidak akan saya bahas lebih lanjut. Yang jelas, pertanyaan semacam ini bisa dengan mudah ditemukan melalui search engine di internet. Contohnya, Google menyediakan 11.600.00 webpage mengenai loneliness, dan 18.600.000 untuk solitude. Aneh. Nampak yang kedua lebih populer, padahal awalnya saya mengira loneliness itu lebih umum.

Nggak
perlu saya cari terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia lah ya. Karena toh saya yakin pasti tidak akan tersedia. Yang membuat saya tertarik justru perbedaan makna diantara keduanya. Didorong oleh rasa penasaran, lagi-lagi si search engine tercinta membawa saya ke suatu halaman. Kali ini halaman kepunyaan seorang psikolog. Katanya begini:

"Loneliness is marked by a sense of isolation. Solitude, on the other hand, is a state of being alone without being lonely and can lead to self-awareness."

Self-awareness. Alone. But without being lonely. Wah. Dahsyat. Tapi sangat masuk akal. Berada dalam kesendirian, mau tidak mau, membawa kita ke state of self-awareness yang lebih tinggi. Memberikan kita kesempatan untuk berpikir. Berpikir yang didasarkan pada diri sendiri. Berpikir apa saja. Mengenai hidup, masa depan, atau masa lalu. Kalau boleh juga mengenai masalah percintaan.

Saya pun begitu, kehidupan di Hamburg membawa saya ke satu titik dimana saya mulai berpikir untuk hal-hal yang lebih luas. Dulu di Bandung, mana sempat. Makanya
posting saya di bulan November kosong melompong layaknya padang di Afrika. Karena memang bulan itu sebagian besar saya habiskan di tanah air. Tidak pernah ada kesempatan untuk menyendiri. Tidak pernah ada kesempatan untuk merenung. Tidak pernah ada kesempatan untuk duduk sendirian di depan laptop, ditemani oleh secangkir kopi, dan mulai untuk menulis. Alasannya sederhana sekali. Karena di Bandung saya merasa nyaman. The comfort zone.

Namun mungkin kita semua harus diberikan sedikit ketidaknyamanan. Hanya untuk merasakan bagian kecil dari
bitterness dalam hidup. Seperti sekarang ini, saya sudah kembali. Di kota Hamburg yang dingin, baik cuaca maupun orang-orang di dalamnya. Kembali pada rutinitas yang itu-itu saja. Dengan sedikit sekali hiburan, apalagi teman-teman. Pahit. Membuat saya tidak nyaman. Uncomfort zone, kalau memang ada istilah itu.

Tapi zona tidak nyaman ini bukan berarti saya harus menderita. Disinilah terasa bedanya
loneliness dan solitude. Karena disini saya bukan menangisi nasib. Bukan juga bersedih karena tidak berada di tempat yang saya sukai. Disini saya belajar, untuk bisa lebih memahami diri sendiri. Untuk menjadi lebih peka. Untuk memiliki self awareness yang lebih tinggi.

Hamburg adalah tempat dimana saya merasa sendiri. Namun tanpa harus merasa kesepian
. Kalau dalam bahasa yang lebih keren: This is the real place of my solitude.