Thursday, December 13, 2007

Namanya Nadya Anindita Supelli. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Adik kecil saya. Umur 18 tahun. Tinggal di Bandung. Dan kami terpisah ribuan kilometer (11,525 km lebih tepatnya). Orang bilang dia ini termasuk kategori orang lemot. Maksudnya, agak lambat dalam memproses informasi. Di kala semua orang sedang asyik bercerita, Nadya terkadang masuk ke tengah percakapan dengan pertanyaan sederhana. 'Maksudnya?' atau 'Kok gitu ya?'. Pertanyaan yang sederhana, tapi lumayan bikin garuk-garuk kepala. Terutama bagi si pencerita. Itulah mengapa, saya berusaha menahan diri untuk menceritakan lelucon kepadanya. Kata orang jaman sekarang, takut ngga nyambung. Bahkan, saking stressnya, adik sepupu saya pernah sekali berkomentar. 'Nas, otak lu itu Pentium berapa sih?'. Khas guyonan anak muda. Dan kalau perlu ditambahkan, saya rasa otaknya setara dengan microprocessor Intel pada awal kesuksesannya. Si Pentium seri 486.

Gelagat lemot Nadya Supelli selalu mengundang tawa bagi saya. Dalam obrolan, selalu ada saja hal yang bisa ditertawakan. Tidak terkecuali dalam 'obrolan jarak jauh'. Sekarang lebih dikenal dengan online chatting atau instant messaging. Hari ini, saya berkesempatan untuk kembali chatting dengan adik saya. Cukup membuat saya tertawa geli. Meski terkadang malah gigit jari.

Saya putuskan untuk membuat posting berdasarkan hasil percakapan ini. Berikut sepenggal kutipan dari perbincangan kita. Beberapa kata sengaja ditambahkan atau dihilangkan demi kejelasan akademisi.

nadyasupelli : tau ga, kak? waktu itu aku ditanya sama dosen gini
kemalsupelli : gimana?
nadyasupelli : "menurut saudara, apakah saudara setuju dengan demokrasi sebagai cara untuk mencapai tujuan politik nasional dan juga sebagai cara untuk menyikapi lunturnya nasionalisme terhadap globalisasi?"
kemalsupelli : anjrit.. mampus.. terus lu jawab apa?
nadyasupelli : aku jawabnya gini
nadyasupelli : "kalo saya sih, ngga pake cara demokrasi juga ngga apa2, yang penting tujuan nasional tercapai.. terus untuk menyikapi globalisasi, saya rasa engga ada hubungannya sama demokrasi"

Nah lo, hebat amat adik saya berbicara. Demokrasi tidak penting. Yang penting tujuan nasional tercapai. Persis omongan Jusuf Kalla, si wakil presiden kita. Dia juga pernah berkomentar hal yang kurang lebih sama. Katanya, demokrasi bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. Ada-ada saja. Lengkapnya bisa dibaca disini.

Didorong oleh rasa penasaran, saya pun angkat bicara.
kemalsupelli : wahahaha.. parah lu, udah kaya jusuf kalla aja.. terus? dosennya bilang apa?
nadyasupelli : katanya, "jadi kamu setuju tidak dengan demokrasi?"

Mungkin si dosen merasa pertanyaan belum terjawab. Saya rasa juga belum, karena jawabannya tidak mengandung unsur setuju atau tidak setuju.

nadyasupelli : aku jawab, "netral"

Disinilah saya memberi komentar dengan ikon terkenal, yang sudah mahfum diterima oleh masyarakat dunia maya.

kemalsupelli : -_-
kemalsupelli : terus?
nadyasupelli : si dosen tetep nanya, "setuju apa tidak?"
nadyasupelli : aku jawab, "setuju2 aja sih.. tapi demo seringkali membuat masalah, jadi saya pikir demokrasi lebih berhubungan dengan kemacetan daripada globalisasi".

Perasaan saya langsung campur aduk seketika. Setelah diberikan pernyataan selevel dengan pernyataan wakil presiden, saya harus berhadapan dengan kenyataan mengejutkan. Bahwa demokratisasi menyebabkan kemacetan. Wah, ini luar biasa. Namun dalam hitungan detik, saya berhasil membawa persoalan ini ke tingkat logika yang bisa lebih diterima. Saya muncul dengan satu kata.

Demonstrasi.

Karena buat saya, lebih logis kalau demontrasilah yang membuat macet jalanan.

kemalsupelli : wahahahahahahahahahahha
kemalsupelli : kenapa jadi demonstrasi?
nadyasupelli : engga tau, aku pikir sama.. karena sama-sama DEMO
nadyasupelli : jadi demokrasi itu ya demonstrasi
nadyasupelli : pasti ada hubungannya lah
kemalsupelli : ngga ada!

Ya memang sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, ada sih hubungan antara demokrasi dan demonstrasi. Meskipun saya tidak medalami ilmu politik, tapi saya bisa lihat benang merahnya adalah 'kebebasan mengemukakan pendapat'. Tapi sejujurnya sih, saya kasihan sama si dosen. Karena memang jawabannya jadi tidak relevan. Yang ditanya hubungannya dengan globalisasi, lantas mengapa jadi kemacetan lalu lintas?

nadyasupelli : ada hubungannya!
kemalsupelli : ya iya! tapi bukan itu yang ditanya!
nadyasupelli : ADA HUBUNGANNYA!

Inilah sifat adik kecil saya yang kedua. Selain agak lemot, dia juga ngga mau kalah. Yah, setidaknya tidak kalah tanpa perjuangan terlebih dahulu. Sedangkan, lemot dan ngotot terkadang bukanlah kombinasi yang pas.

nadyasupelli : demonstrasi kan ya demo dong, ka
nadyasupelli : demokrasi = atas dasar kepentingan rakyat
nadyasupelli : rakyat bebas menyalurkan aspirasi
nadyasupelli : ya menyalurkan aspirasi = demonstrasi
nadyasupelli : jadi demokrasi = bikin macet

Maha dahsyat. Ini lebih canggih dari dosen Termodinamika saya ketika sedang menurunkan rumus untuk mendapat persamaan baru. Saya hanya bisa geleng-geleng, dan memutuskan untuk kembali menggunakan ikon yang maha terkenal itu.

kemalsupelli : -_-

Dan saya pun berkomentar

kemalsupelli : elu mah otaknya cuman memproses sebagian dari seluruh kata..
kemalsupelli : DEMOkrasi itu tidak sama dengan DEMOnstrasi
nadyasupelli : iya aku tau, tapi berhubungan!

Bagaimanapun, saya memutuskan untuk tidak berdebat lebih panjang lagi. Saya memilih untuk menarik nafas dan menanyakan kejadian pasca tragedi saja.

kemalsupelli : terus? dosennya gimana?
nadyasupelli : ya, semua anak di kelas pada ngeliatin aku

Untuk anak-anak kelas, saya rasa ini adalah respon yang wajar. Kalau saya juga berada di sana, saya pasti penasaran untuk melihat mahasiswa yang dengan suksesnya memojokkan dosen dengan memutarbalikan pertanyaan politik menjadi masalah lalu lintas.

nadyasupelli : terus dosennya cape kayanya, langsung ganti orang
kemalsupelli : wahahahahahahaha...

Sesuai dugaan, yang jadi korban itu adalah si dosen. Memang tidak mudah menjadi seorang dosen. Tabah ya, pak.

Dan akhirnya percakapan ditutup dengan:

nadyasupelli : sok, pasti mau ditulis di testimonial ya
kemalsupelli : engga... ini sih wajib masuk blog
nadyasupelli : KAKAK!
kemalsupelli : ga usah protes

Itulah. Saya senang sekali jail ke adik saya yang satu ini. Karena memang begitu kelakuannya, selalu mengundang tawa atau bikin saya geleng-geleng kepala. Mungkin juga ini naluri seorang kakak, berkewajiban untuk membuat hidup para adiknya sengsara. Tapi apapun itu, adik saya tidak pernah marah. Karena mungkin dia tahu, kalau saya hanya sekedar bercanda. Atau mungkin karena dia juga tahu, kalau sebenarnya saya sangat sayang sama dia. Tidak peduli siapa, atau apapun kelakuannya. Tidak peduli. Meski terkadang, otaknya sering disetarakan dengan Pentium 486.