Friday, October 19, 2007

Belakangan ini saya jadi gemar memasak. Mungkin karena di apartemen yang baru ini saya lebih leluasa untuk mendapatkan akses ke bumbu masak khas Indonesia. Impian akan menjadi koki hebat sekaliber Jamie Oliver nampak sudah di depan mata. Karena saya pikir, dengan sejuta bumbu ini, masak apapun pasti akan jadi enak. Eksperimen pertama pun dimulai. Saya memasukkan berbagai macam bumbu ke dalam panci, beserta daging yang saya baru beli di supermarket. Tumis sebentar, lalu dihidangkan. Kemudian saya coba makan. Begitu makanan masuk mulut, otak saya spontan memberi perintah 'Muntah! Muntah!'. Rasanya seperti menyantap taplak meja diberi garam. Super luar biasa tidak enak. Saya pun akhirnya menghabiskan makanan tadi, dengan air mata mengalir deras di pipi. Apa boleh buat. Impian Jamie Oliver buyar seketika. Nasib.

Saya orangnya memang tidak jago kalau hal masak memasak. Kayanya cuman saya yang bisa membuat ayam goreng bisa terasa seperti sendal jepit. Entah mengapa, memang feel-nya saya tidak punya. Mau bagaimana lagi? Saya tidak peka soal memberi bumbu. Saya bahkan tidak tahu kapan harus mengangkat ayam yang sedang digoreng. Pokoknya. Masak. Ngga bisa.

Makanya, kalau harus masak, saya pasti konsultasi terlebih dahulu dengan dua orang terdekat saya yang pandai memasak. Ibu saya dan pacar saya. Ibu saya memang jago sekali memasak, dan tentu rasanya selalu pas dengan lidah saya. Kalau Chaki, pacar saya, punya kekuatan untuk mengubah apapun benda yang ada di lemari es menjadi hidangan lezat. Ngga tau deh bagaimana caranya. Bahkan mungkin hanya dia yang bisa membuat sendal jepit jadi terasa seperti ayam goreng.

Dan sampailah pada suatu hari dimana keinginan masak saya sedang menggebu-gebu. Berdasarkan pengalaman buruk sebelumnya, saya putuskan untuk konsultasi dulu dengan ibu tercinta. Berbagai pertanyaan mengenai macam-macam masakan pun keluar. Dan anehnya buat saya, apapun makanan yang saya tanyakan, ibu saya selalu memulai dengan kalimat 'Tumis bawang merah bawang putih sampe layu dan harum'. Selalu. Saking seringnya, malah tidak jarang disingkat menjadi BM dan BP. BM untuk Bawang Merah, dan BP untuk Bawang Putih. Kadang-kadang, malah keluar singkatan BB untuk Bawang Bombay. Dan BH untuk Breast Holder.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Karena penasaran, akhirnya saya tanya juga. Kenapa selalu muncul si bawang merah bawang putih ini? Ibu saya menjawab, 'Ih, kamu teh gimana sih. Bawang merah sama bawang putih mah harus selalu ada atuh'. Terlihat jelas kalau saya adalah orang Sunda asli. Teh, mah dan atuh harus senantiasa dilibatkan ke dalam percakapan. Namun selain menyadari fakta bahwa saya adalah asli keturunan Sunda, saya juga berhadapan dengan fakta bahwa bawang merah bawang putih adalah esensi untuk kebanyakan masakan Indonesia. Saya manggut-manggut saja, tanda mengerti.

Keesokan harinya, dengan semangat saya pergi ke supermarket untuk membeli si BB dan si BM. Dan saya beli luar biasa banyak. Kayanya cukup banyak untuk membuat satu lusin vampir tobat dan membaca kalimat syahadat. Ngga apa-apa, saya pikir. Biar sekalian.

Dan setelah dicoba ternyata memang benar, saya harus mengakui bahwa kelompok siung-siungan ini membawa aroma khas dan memberi rasa nikmat. Tentu masih harus diberi sedikit sentuhan sana sini untuk mencapai rasa yang diinginkan, tapi memang esensinya berada di bawang merah dan bawang putih. Racikan dasar. Dan juga benar bahwa si bawang-bawang ini harus selalu ada di setiap masakan. Karena disinilah intinya, tidak peduli masakan apa yang kita siapkan. Bawang merah bawang putih harus menjadi bagian. Biar masakan saya jadi enak. Tidak lagi terasa seperti sendal jepit.

Rasanya juga di dalam diri kita, bawang merah bawang putih harus selalu ada. Saya percaya bahwa dalam setiap hal yang kita lakukan, pasti berangkat dari racikan dasar. Karena kalau racikannya sudah tepat, tindakan kita akan mengarah pada kesuksesan. Tanpa kecuali. Tidak peduli apapun jenisnya. Mirip sekali seperti bawang pada masakan. Dulu, ayah saya pernah memberi contoh seorang Darwis Triadi. Katanya, kalau orang memang sudah memiliki dasar yang bagus, apapun yang dilakukan pasti akan menjadi bagus pula. Meski harus membanting profesi dari seorang pilot menjadi fotografer. Tidak masalah, karena racikannya sudah tepat.

Setiap orang memiliki bawang putih dan bawang merah mereka sendiri, tergantung bagaimana memandangnya. Ada yang bilang kerja keras. Ada juga yang bilang bakat. Ada yang bilang latar belakang pendidikan. Juga ada yang bilang motivasi. Tapi untuk saya pribadi, racikan dasar adalah kebahagian. Enjoyment. Happiness. Karena saya yakin, seperti yang pacar saya sering bilang, 'Everything you make will be wonderful if you give a little bit of heart into it'. Memang benar. Jika kita mengerjakan dari hati, hasilnya pasti memuaskan. Karena kita menikmati proses, bukan sekedar mengejar hasil akhir. Salah satu teman saya di Belanda pun begitu, menghabiskan berhari-hari non-stop hanya untuk mendesain logo guna keperluan sekolah. Saya tanya, 'Kok niat amat sih? Sampai semua detail dipikirin matang-matang'. Jawabnya simple sekali. 'Abis gue suka sih'. Terlihat jelas. Ada enjoyment.

Teringat sebuah quote yang sudah lama sekali saya temukan, tapi entah mengapa sampai sekarang masih saja menempel di kepala. Katanya, success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful. Nah ini dia, bawang merah bawang putih dalam hidup. Racikan yang sederhana, tapi esensial. Setuju?


*Photo courtesy of Jimfiz [http://jimfiz.deviantart.com]