Monday, October 8, 2007

Setiap saya berkunjung ke tempat pacar saya di Diemen, saya selalu menanti-nanti balapan Formula 1 di televisi. Bukan hanya karena di rumah saya tidak ada televisi sehingga saya tidak bisa menyaksikannya langsung dari Hamburg, tetapi juga karena saya termasuk fans berat Formula 1. Namun di suatu Minggu pagi, ketika sedang asyik bergumul dengan F1 di depan televisi, si Bacum, teman baik pacar saya yang kebetulan juga berada disana, ikut berkomentar. 'Wah, gua sih kalo nonton F1 ngantuk, ngebosenin', atau kira-kira begitulah. Saya yang mendengarnya tidak bisa protes, karena menurut saya ini adalah masalah selera.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Mungkin menurut Bacum, F1 hanya sekedar mobil yang melaju bolak balik landasan pacu. Monoton. Membosankan. Menurut sudut pandang saya, F1 penuh dengan intrik dan strategi, lengkap dengan mobil balap yang didukung dengan teknologi paling maju di muka bumi ini. Faktor kemenangan pun hanya ditentukan oleh satu per ratusan detik. F1 itu seru. Dinamis. Namun, beda sudut pandang saya dan si Bacum membuat saya tidak bisa memaksakan pendapat. Mungkin untuknya yang seru itu adalah sepakbola, permainan yang penuh dengan aksi individual yang memukau dan kerjasama tim yang apik. Tapi bagi sebagian orang, sepakbola hanyalah olahraga dimana satu bola ditendang bolak balik lapangan.

Sudut pandang memang membuat suatu hal bisa berbeda 180 derajat. Benar atau salah. Besar atau kecil. Monoton atau dinamis. Seru atau bikin ngantuk. Malah terkadang ini bisa memicu konflik. Makanya sering kita lihat pada layar kaca adanya demonstrasi di depan gedung kedutaan, misalnya. Atau celoteh George Bush yang ngotot bahwa perang di Irak adalah 'satu-satunya solusi' untuk mencegah terorisme. Mungkin politik tidak usah dibahas disini, nanti bisa tidak ada habisnya. Yang jelas, selalu ada dua kubu yang berada dalam dua sudut pandang berbeda.

Memang terkadang hidup itu sulit. Tidak lagi mudah seperti hidup seorang anak kecil, dimana semua terasa seperti dunia Teletubbies. Diisi hanya dengan bermain dan berpelukan. Setelah dewasa, si anak malah harus memihak antara ayah dan ibunya di kala perkawinan mereka sudah diujung tanduk. Si anak berada di daerah abu-abu. Dia mengerti penjelasan logis ayahnya mengapa mereka tidak lagi bisa bersama, namun juga ikut merasakan penderitaan ibunya. Jika si anak ditanya layaknya tagline film Transformers, choose your side, dia mungkin hanya bisa angkat bahu. Karena dia tahu, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Dan jika si anak balik bertanya, apa jalan keluarnya, jawaban yang mungkin ia dapat adalah bahwa: perceraian adalah 'satu-satunya solusi'. Persis seperti George Bush.

Mungkin salah satu jalan adalah dengan komunikasi. Karena dengan komunikasi, dua sudut pandang bisa menjadi satu. Konflik tidak perlu terjadi. Siapa tau saya akan mendapat kesempatan untuk membahas dengan Bacum mengapa saya suka F1, dan mengapa dia tidak. Sehingga mungkin, hanya mungkin, di suatu Minggu pagi lainnya, saya dan Bacum bisa menikmati laju kencang mobil Ferrari melalui layar kaca. Tentu saja dengan ditemani secangkir kopi susu, dan sebungkus Marlboro.

Atau mungkin si ayah dan si ibu tadi, bisa duduk bersama dan mulai bicara. Karena ini memang bukan masalah benar atau salah. Hanya masalah perbedaan sudut pandang, dan bagaimana mereka menjembataninya.